Orang Jawa dikenal percaya pada kesakralan alam semesta dan waktu
tertentu. Salah satunya diubah menjadi sistem untuk menghitung (petung) tahun,
bulan, hari bahkan waktu. Sistem perhitungan tercatat diterapkan bagian dalam
sikap dan tindakan manusia, terutama ketika dikaitkan dengan keputusan penting
menikah. Tanggal lahir dan pasar masing-masing pengantin (weton) dihitung untuk
menunjukan tingkat kebahagian dan kemakmuran. Meneurut kepercayaan jawa,
penggunaan sistem petung ini memenuhi niat untuk membuat keuntungan dengan
melakukan pernikahan. Orang Jawa melihat ini sebagai bentuk upaya untuk
mencapai kelancaran perayaan dan keamanan bagi keluarga. Mereka percaya
bahwa akan menggunakan metode untuk menentukan atau mencari hari
keberuntungan, dan kereta kontrak ke pesta pernikahan akan membawa
keberuntungan. Selain itu juga, kebahagian ini juga bisa menemani pengantin
dalam setiap denyut nadi sampai akhir hayat.
Kata malem songo bertentangan dengan pelaksanaan pada malam hari ke 29
ramadhan. Menurut orang Jawa seharusnya dibaca sebagai “malam songolikur”
(29 malam). Namun, menyatakan bahwa penggunan istilah malem songo
didasarkan pada kebiasaan orang Jawa, yang menyerukan malam aneh ganjil pada
sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu, malam hari ke- 21
disebut malem siji. Malam hari ke-23 akan disebut malem telu. Malem ke-25
disebut malem limo. Malam hari ke-27 disebut malem pitu. dan malam hari ke-29
disebut malem songo. Tradisi menikah dengan malem songo tidak jauh berbeda
dengan menikah dihari biasa. Hanya pelaksanaan yang berlangsung selama bulan
puasa. Banyak cerita menarik yang dituturkan masyarakat Banjarjo.
Terkait hal tersebut, terdapat tradisi nikah malem songo di Kabupaten
Bojonegoro. Pernikahan malem songo tradisi akad nikah dilaksanakan pada malam
29 Ramadhan. Waktu pelaksanaan di mulai setelah sholat Ashar sekitar 15.30 WIB
hingga pukul 23.59 WIB. Waktu ini dapat diperpanjang sehingga dapat
dilaksanakan pada pagi hari. Momen pernikahan di malem songo pada malam hari
sebuah tradisi yang tidak didasarkan pada legitimasi primbon Jawa. Begitu pula
dengan tradisi masyarakat Banjarjo, Sumberrejo, Bojonegoro dengan mereka masih
mempercayai hari keberuntungan untuk menikah. Jika ada pertemuan atau hasil
perhitungan pasangan tidak baik, keduanya yang ingin membangun hubungan
keluarga tidak dapat melanjutkan pernikahan. Mereka lebih suka mengambil
tindakan prediktif terhadap potensi bencana di masa depan. Ini semua tidak
didasarkan pada kenyataan yang ada di masyarakat, tetapi hanya ilusi yang berasal
dari perhitungan.
Bahkan kesakralan pada aplikasi akad nikah hanya terbatas dalam waktu.
Masyarakat Banjarjo, Kecamatan Sumberrejo, meyakini Masjid sebagai tempat
yang sakral pada melangsungkan akad nikah. Mereka berkeyakinan bahwa Masjid
merupakan ruang public yang tidak hanya difungsikan menjadi ibadah mahda saja,
salah satunya yaitu dalam hal pernikahan. Lantaran dalam hakikatnya, pernikahan
pula manifestasi menurut ibadah pada tuhan. Kepercayaan akan adanya bulan
tertentu, yang di anggap baik atau buruk untuk perkawinan, menunjukan sejarah
kehidupan sosial manusia. Termasuk fenomena pernikahan pada malem songo
tertentu itu adalah warna tersendiri dan prakteknya tidak berdasarkan kepercayaan
primbon Jawa. Pernikahan dengan malem songo telah menjadi fenomena yang ada
di tengah kerumunan orang yang percaya pada orang lain. Namun, dari berbagai
kepercayaan semuanya terangkum dalam prinsip yang sama.
Pada bulan Ramadhan 1443 H/2022 telah dilakukan beberapa kali survei di
Desa Banjarjo, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro pada sepasang
kekasih yang menikah di malem songo pada malam hari. Pasangan tersebut
menikah secara sah dan terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan
Sumberrejo. Mereka yang menikah di malem songo mengaku tidak menggunakan
perhitungan Jawa. Hal itu disebut dengan istilah “ngebo binggung”. Bahkan
sebagian besar penduduk setempat masih menghitung orang Jawa. Termasuk
meyakini bulan-bulan tertentu yang dianggap sebagai baik dalam melangsungkan
pernikahan. Pada bulan besar (zulhijah) yang dianggap sebagai bulan baik, terdapat
banyak pasangan yang menikah. Inilah yang kemudian menjadi keunikan tersendiri
dari fenomena nikah malem songo yang ada di Desa Banjarjo dan juga di daerah
lainnya. Bagaimana sekelompok masyarakat tetap eksis walaupun tidak hanyut
terhadap arus kepercayaan kelompok yang mayoritasnya menganggap hal itu
merupakan sesuatu yang menarik untuk dijajaki lebih dalam.
Fenomena pernikahan malem songo adalah manifestasi dari penyimpangan
iman bagi orang Jawa sudah memiliki earl tradisional yang mendarah daging.
Dalam hal ini, neptu tidak akan menjadi struktur kemampuan untuk menghambat
kebebasan pribadi dalam berpikir dan bertindak dengan keinginan struktur. Selain
itu, orang yang di pilih menikah di malem songo melihat bahwa praktik ini telah
menjadi struktur atau institusi sosial Banjarjo, Sumberrejo, Bojonegoro. Hal
tersebut terlihat dari hubungan dialektis antara perilaku individu sebagai aktor dan
struktur atau pranata sosial yang ada. Baik di Desa Banjarjo Kecamatan
Sumberrejo, masyarakat dengan sukarela mengikuti latihan hitung Jawa dan
beberapa memilih malem songo. Beberapa tunduk pada hitungan Jawa, sementara
yang lain tunduk pada malem songo. Jika mereka memilih perhitungan Jawa,
mereka terikat oleh perhitungan Jawa dan perkawinan. Namun, mereka tidak terikat
dengan perhitungan Jawa dan bebas menikah di malem songo.
Struktur ini dapat menahan masyarakat untuk melangsungkan pernikahan
hanya pada malem songo, tidak pada malam-malam lainnya dalam bulan Ramadhan
atau bahkan di bulan lain. Mereka adalah subjek dari struktur ciptaan mereka
sendiri, mengulang berkali-kali pada waktu yang sama di ruang yang sama. Pada
malem songo setiap tahunnya penuh dengan pengantin ada sekitar 60 pasangan di
Kecamatan Sumberrejo, karena mereka tidak tahu malam lainya selain malem
songo. Perkawinan malem songo memiliki kekuatan untuk menahan masyarakat.
Rupanya tidak satupun dari yang didirikan menurut struktur nikah malem songo
berani mengabaikan struktur ini atau setidaknya membuat beberapa inovasi.
Misalnya malam pitu dan malam limo dipercepat sehingga banyak pengantin tidak
sibuk. Tidak peduli seberapa sulit tantangannya bahkan jika mereka harus menikah
sebelum berpuasa atau menikah di tengah malam mereka tetap menjalaninya.
Pernikahan dalam bahasa Arab disebut al-zawaj yang bermakna penyatuan
(al-iqtiran) atau dualitas (al-izdiwaj). Jika seseorang laki-laki menikahi seorang
perempuan maka hal tersebut sebagai bentuk penyatuan daru dua jasad yang
berlainan. Ada pula yang menganggap berasal daro kata al-nikah atau al-zawaj
suatu akad yang memiliki legitimasi syarat yang menghalalkan laki-laki untuk
berhubungan dengan perempuan. Ada pula yang memaknai akad nikah sebagai
kontrak antara dua insan dengan tujuan memiliki keturunan yang sah. Makna
tersebut disepakati semua kalangan, bahwa pernikahan merupakan wadah
penyatuan dua jenis manusia. Makna disepakati sebab dari pernikahan salah satu
berbentuk hubungan suami-istri.
Pernikahan malem songo dalam dimensi makna. Orang yang menikah di
malam hari terikat oleh makna dan nilai malam adalah malam yang membawa
berkah siapapun yang sudah menikah, artinya tidak berdasarkan itjihad adalah
murni manusia tetapi memiliki keyakinan dari ajaran agama bahwa Ramadhan
adalah bulan yang paling membahagiakan tuhan bulan-bulan lainnya. Pernikahan
malem songo tidak melibatkan kelembagaan politik, ekonomi dan hukum. Oleh
karena itu, pada bidang pernikahan malem songo bukan tentang dominasi dan
legitimasi. Formasi struktur pernikahan malem songo sebuah proses yang
didasarkan pada interaksi kominitas, berkomunikasi melalui kepercayaan selamat
dan berkah malem songo.
Para pengantin yang menikah pada malem songo merupakan orang-orang
yang menanggalakan sebagai bentuk perhitungan Jawa dalam menentukan waktu
yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Dalam hal kecocokan jodoh, tidak
perlu lagi ada perhitungan dari masing-masing mempelai. Termasuk juga waktu
yang tepat dalam melangsungkan akan resepsi pernikahan. Sedangkan di dalam
primbon jawa, nasib atau kecocokan dari kedua calon mempelai dapat dinilai lewat
perhitungan Jawa. Pertama dengan menggunakan dino atau pasaran kelahiran
masing-masing mempelai. Cara ini memiliki varian rumus. Kedua menggunakan
nama masing-masing mempelai. Nama yang dimaksud terlebih dahulu harus di tulis
dalam aksara Jawa, kemudian setiap aksaranya memiliki neptu-nya sendiri-sendiri.
Referensi :
Abdulsyani. Sosiologi: Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2012.
Arianto, Yudi. “Tradisi Perhitungan Dino Pasaran Dalam Perkawinan Masyarakat
Desa Klotok Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban.” (Tesis —
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016)
Faridl, Miftah. 150 Masalah Nikah Dan Keluarga. Jakarta: Gema Insani Press,2002.
Penulis : Rahmad Romadlon, Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura