KETIKA HOMOPHOBIA DIANGGAP MELANGGAR HUKUM : MEMAHAMI KONSEKUENSI MENJADI PENENTANG LGBTQ+

Saat ini eksistensi LGBTQ+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer or questioning)
mulai muncul diberbagai media dan telah dianggap sebagai hal yang lumrah dan diperbolehkan
dengan alasan kesetaraan individu. Maraknya aktivis aktivis gender yang menyuarakan kesetaraan
gender dan hak individu dalam orientasi seksual kini membuat kaum LGBTQ+ mendapatkan
dukungan. Mereka memperjuangkan dan menuntut agar LGBTQ+ dilegalkan dan dianggap sama.
Penghapusan diskriminasi atau perlakuan yang tidak adil, pengakuan yang setara dimata hukum,
dan lingkungan yang mendukung kaum LGBTQ+ adalah hal utama yang mereka perjuangkan.
Komunitas pendukung LGBTQ+ ini biasa dilindungi oleh dukungan Queer Theory yang
dikemukakakan oleh seorang filusuf Amerika, Judith Butler. Para pakar queer theory menegaskan
bahwa heteroseksual dan homoseksual merupakan kesatuan yang tidak bertentangan namun saling
melengkapi. Mereka tidak menentang heteroseksual tapi mereka memperjuangkan hak hak
kesetaraan dalam masyarakat untuk para minoritas yaitu homoseksual. Paham queer juga
menekankan pemahaman mengenai keberagaman identitas seksual dan gender, tidak
mengkategorikan manusia secara sempit. Pandangan liberal memberikan pengakuan dan tempat
LGBTQ+ untuk semakin berkembang. Sehingga kini LGBTQ+ tidak dianggap sebagai
penyimpangan namun dianggap sebagai gaya hidup.

Pada tahun 2010 beberapa gay di Amerika Serikat ingin melakukan bunuh diri karena
mengalami devastating harrasment atau pelecehan yang merusak dari penentang LGBTQ+.
Pasukan penentang yang sering disebut anti-gay atau homophobia ini dianggap intoleran terhadap
Hak Asasi Manusia. Mereka dianggap sebagai kriminal yang tidak menghargai pilihan orang lain.
Diskriminasi melawan gay dan lesbian menjadi dilarang dalam sistem edukasi disekolah.
Beberapa guru disekolah Amerika kini terang terangan menunjukkan bahwa mereka pro terhadap
LGBTQ+. Beberapa dari mereka bahkan memasang bendera pelangi (lambang LGBTQ+) sebagai
identitas diri mereka saat mengajar. Hal tersebut tentu menjadi halangan besar bagi penentang
LGBTQ+ dalam mengutarakan pendapatnya. Mereka cenderung takut untuk mengungkapkan
ketidaksetujuannya terhadap LGBTQ+. Mereka seakan akan dibungkam oleh publik sehingga
tidak punya hak untuk berbicara kebenaran bahwa LGBTQ+ melanggar norma norma yang ada
dimasyarakat. Padahal opini dari homophobia akan membawa pengaruh besar terhadap penurunan
jumlah LGBTQ+.
Intoleran ditanamkan sebagai julukan untuk tiap individu yang menentang adanya kaum
lesbian dan gay. Mereka diminta untuk menghargai keputusan orang lain dalam memilih pasangan
sesama jenisnya. Stigma buruk dengan pelabelan nama homophobia diberikan pada mereka.
Mereka bahkan dikatai rasis jika membahas tentang LGBTQ+. Kini beberapa negara mulai
meormalisasi pasangan homoseksual bahkan pernikahan sesama jenis telah dilegalkan oleh 36
negara di dunia. Hal tersebut tentu merugikan bagi semua pihak, karena pasangan homoseksual
tidak bisa dihindarkan dari penyakit penyakit mematikan seperti HIV/AIDS. Resiko penularan
infeksi menular seperti sipilis, hepatitis B, hepatitis C, klamidia dan gonore menjadi tinggi untuk
pasangan sesama jenis. Namun hal ini bukan menjadi ketakutan utama kaum LGBTQ+. Mereka
lebih takut terhadap diskriminasi atau pandangan negatif orang sekitar terhadap mereka daripada
dampak pernikahan sesama jenis terhadap kesehatan dirinya. Ketakutan itu membuat mereka
selalu memperjuangkan kesetaraannya tanpa menghiraukan konsekuensi yang ada.
Nama homophobia untuk penentang LGBTQ+ kini berkembang dalam masyarakat,
terutama pada komunitas lesbian dan gay. Mereka menentang keras adanya homophobia karena
dicap sebagai penindas kaum homosexual. Homophobia dianggap kurang melihat keberagaman
dalam masyarakat dan menekan masyarakat untuk mengikuti norma-norma yang sempit. Sebutan
homophobia membuat masyarakat dipaksa untuk menyetujui eksistensi atau keberadaan kaum

LGBTQ+. Saat ini masyarakat memilih untuk bungkam dan tidak lagi menyuarakan LGBTQ+
sebagai kesalahan. Beberapa dari mereka menganggap jalan terbaik adalah dengan membiarkan
mereka dan menganggap homoseksual adalah pilihan dari tiap individu yang wajib dihargai.
Padahal jika LGBTQ+ semakin berkembang, angka kelahiran akan semakin menurun dan populasi
manusia bisa saja mengalami kepunahan.
Desakan para LBTQ+ membuat khalayak semakin membiarkan mereka. Beberapa
kurikulum di sekolah Amerika kini telah membahas tentang kebergaman seksualitas manusia.
Kurikulum ini dianggap sebagai ajang untung mempromosikan LGBTQ+ kepada remaja dan anak
anak yang masih duduk dibangku sekolah. Penanaman pemikiran tentang LGBTQ+ kepada siswa
tentu menuai pro dan kontra dari orang tua mereka. Banyak orang tua tidak menyetujui pelegalan
lesbian dan gay. Mereka melakukan protes ke sekolah yang menjadikan pembelajaran sebagai
media untuk mempromosikan LGBTQ+. Akan tetapi beberapa remaja kini mulai menormalisasi,
mendukung dan menerima LGBTQ+ dengan tulus, walaupun mereka bukanlah bagian dari
homoseksual. Sebagian dari remaja beranggapan bahwa para homoseksual tidak menindas dan
menentang mereka sebagai heteroseksual. Jadi mereka mencoba menerima mereka dengan tidak
mendiskriminasi pilihan mereka. Bahkan beberapa remaja heteroseksual turut ikut serta dalam
memperjuangkan hak para homosekual.
Meskipun homophobia dianggap sebagai seorang penindas untuk kaum lesbian dan gay,
kebenaran harus tetap disuarakan. Konsekuensi menjadi penentang LGBTQ+ juga harus dihadapi
demi kebaikan semua orang. Menunjukkan penolakan terhadap orang dengan orientasi seksual
yang berbeda juga harus ditunjukkan dengan cara yang benar. Tidak mendiskriminasi secara
personal bisa dilakukan untuk menolak ide LGBTQ+. Tindakan seperti perundungan, penindasan,
dan pengancaman kepada kaum lesbian dan gay perlu dihindari. Menggunakan cara yang tepat
melalui perang pemikiran merupakan salah satu cara yang efektif untuk menunjukkan posisi kontra
terhadap LGBTQ+. Menjadi aktivis penentang LGBTQ+ bukanlah hal yang salah jika dilakukan
dengan pengungkapan ide atau teguran dengan lembut dan sopan. Walaupun sulit untuk dilakukan,
penolakan ide LGBTQ+ harus tetap disuarakan, jangan sampai menjadi abu abu antara pro dan
kontra. Memperjelas posisi kontra akan membuat masyarakat semakin kuat untuk menolak ide
tersebut. Tidak membiarkan eksistensi mereka dengan dalih kesetaraan adalah jalan yang benar.

Referensi :
Maimunah, M.(2014) “Understanding Queer Theory in Indonesian Popular Culture : Problems and
Possibilities.” Jurnal Kajian Sastra dan Budaya Lakon, 3(1), 43-69.

https://journal.unair.ac.id/MKSB@understanding-queer-theory-in-indonesian-popular-
culture:-problems-and-possibilities-article-7510-media-161-category-8.html

McCormack, M. (2019). The Declining Significance of Homophobia. New York: Oxford
University Press.
Raviola, M.(2014) “Tinjauan Buku : Queer Youth Cultures.” Jurnal Studi Pemuda, 3(1), 65-67.
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/32040/19364
Sofyarto, K.(2017) “Abu-abu Regulasi LGBT di Indonesia.” Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik),3(2), 84-94. https://doi.org/10.35814/selisik.v3i2.676

Penulis : Arli Ochaputri Hartono, Progam Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura