Revisi Dulu atau Tarawih Dulu?

Aysa menatap layar laptopnya dengan tatapan penuh kecemasan. Jam di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 17.59. Di depannya, dokumen revisi tugas kuliah masih terbuka, sementara notifikasi grup organisasi kampus yang ia ikuti terus berdenting tanpa henti mengingatkan untuk rapat.  

“Ya Allah, kenapa deadline-nya harus barengan semua sih?” keluhnya sambil memegangi kepalanya yang sedang pusing.  

Sejak pagi, hidupnya terasa seperti maraton tanpa garis akhir. Dimulai dari kuliah pagi hingga sore, lanjut mengerjakan tugas yang belum juga selesai karena perfeksionismenya sendiri. Setiap kali merasa tugasnya sudah cukup baik, ia kembali menemukan hal yang perlu diperbaiki. Revisi, revisi, dan revisi lagi. Selalu merasa kurang, selalu ingin lebih baik.  

Dan sekarang, adzan Maghrib berkumandang menandakan waktu berbuka telah tiba, tapi ia melewatkannya. Perutnya yang kosong baru ia sadari ketika mendapat telepon dari temannya yang menyuruh Aysa berangkat rapat, karena waktu sudah menunjukkan bahwa rapat akan dimulai. Dengan cepat, Aysa merapikan laptopnya, buru-buru menyisir rambutnya, memakai riasan tipis, dan bergegas menuju kafe tempat rapat organisasi berlangsung. 

Di meja kafe, ia duduk dengan mi instan di depannya, masih mengepul panas. Dengan cepat, ia menyuap mi itu, mencoba mengisi energi sambil tetap mendengarkan pembicaraan rapat.  

“Maaf, aku izin sambil makan ya, tadi belum sempat buka puasa,” ujarnya sambil tertawa kecil, berusaha menutupi kelelahan yang terasa menumpuk.  Tapi di dalam hatinya, ia tahu bukan hanya berbuka yang terlewat, tarawih pun sudah ia abaikan untuk kesekian kalinya.  

Sepulang dari rapat, bukannya langsung mengerjakan tugas, Aysa justru membuka Instagram. Scroll-scroll sebentar, lihat update teman-teman yang ngabuburit dan bukber, lalu tanpa sadar berpindah ke TikTok. Satu video, dua video, lima video… tahu-tahu sudah hampir tengah malam.

Ia pun berhenti scroll sosmed dan bergegas kembali fokus menyelesaikan tugasnya. Laptop menyala, kertas berserakan, dan tugas yang masih setia menunggu untuk direvisi lagi. Pikirannya berkata untuk beristirahat, tapi hatinya mendesak untuk menyelesaikan tugas sebelum tidur.

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Detik berubah menjadi menit, menit menjadi jam, hingga tanpa sadar waktu sahur telah tiba dan adzan Subuh hampir berkumandang.  

Aysa menghela napas panjang. Ia kelelahan, perutnya kembali keroncongan, dan malas untuk memasak. Dengan cepat, ia membuka aplikasi ojek online dan memesan makanan junk food yaitu burger dengan keju ekstra, kentang goreng renyah, dan segelas es kopi susu.  

“Udah, yang penting kenyang dulu,” gumamnya, menikmati sahur yang mepet imsak itu dengan lahap.  

Namun, di tengah suapan terakhir, ia mendadak termenung.  Setiap hari yang ia jalani terasa seperti terlalu sibuk, terlalu terburu-buru, hingga tak ada waktu untuk sekadar menikmati momen ibadah yang seharusnya lebih diprioritaskan dan hingga lupa menjaga kesehatannya sendiri.  

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil ponselnya dan membuka aplikasi catatan. Jarinya mulai mengetik daftar kegiatan yang perlu ia atur ulang:  

To-Do List Aysa Hari Ini 

06.00 – 08.00 → Bangun + Persiapan Kuliah  

08.00 – 16.00 → Kuliah

16.00 – 17.30 → Ngerjain tugas (set timer 45 menit, istirahat 15 menit)  

17.30 – 18.30 → Buka puasa dengan tenang + Ibadah  

18.30 – 19.30 → Tarawih & Tadarus (No Excuse!)  

19.30 – 21.00 → Rapat Organisasi  

21.00 – 22.30 → Ngerjain tugas kuliah + Selesaiin jobdesk organisasi 

22.30 – 23.30 → Self-care + Tidur lebih awal  

03.30 – 04.30 → Sahur dengan makanan sehat (No Junk Food!) + Ibadah

Setelah mengetik jadwal itu, Aysa tersenyum kecil. Aysa menatap to-do list yang ia buat dengan lega.  

“Mungkin selama ini yang kurang bukan waktu, tapi cara aku membaginya,” gumamnya sambil tersenyum kecil.  

Sejak itu, ia memutuskan untuk menjalani harinya dengan lebih teratur. Bukan hanya agar tugas selesai tepat waktu, tetapi juga agar dirinya tetap sehat, tetap beribadah, dan tetap punya waktu untuk istirahat.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya terasa lebih tenang.  

— TAMAT —

 

Penulis : Cici Nur Aisyah 

Editor : Bayu Firmansyah