KIBLAT DI ANTARA DEBU KOSMOS

Langit Mars menguapkan warna karat senja ketika kapsul baja mereka menyayat atmosfer tipis. Kabin bergetar parau, mengguncang tulang rusuk, seolah alam semesta merah ini enggan menerima tamu asing. Di jendela kecil, Khalid menyaksikan debu-debu Utopia Planitia menari liar-tarian penyambutan yang pura-pura ramah. Bertahun-tahun manusia bermimpi menapakkan kaki di planet lain, dan kini impian itu terwujud.

“Bismillah…” desisnya tertelan deru mesin pendarat. Telapak tangan berkeringat mencengkeram kursi besi. Di saku serbannya, foto Fatimah, putrinya yang berusia enam tahun, terselip rapuh. “Ayah janji, kalau pulang nanti, kita lihat komet bersama,” bisiknya dulu di Bandung. Kini, janji itu terasa seperti duri di kerongkongan.

Hari-hari awal penuh dengan kesibukan. Shelter didirikan, alat-alat penelitian dipasang, dan para ilmuwan mulai menyesuaikan diri dengan atmosfer Mars yang dingin dan tipis. Namun, di sela semua itu, ada satu pertanyaan yang terus mengusik Khalid, Bagaimana ia harus menjalankan ibadah di tempat yang begitu jauh dari Bumi?

Malam itu, shelter logam berderit menahan dingin -63°C. Yusuf, insinyur muda dari pulau kecil di ujung perairan Jawa, membuka kaleng kopi hangat. “Di Bumi sekarang maghrib,” bisiknya. Dua sajadah tergulung di sudut ruangan, bisu menunggu.

Khalid menatap kompas digital di pergelangan tangan. Angka-angka berputar tak keruan. Bayangan Ka’bah tiba-tiba terasa seperti rumah masa kecil yang terlupakan. Khalid mengangguk pelan. Ia sudah mencoba menghitung arah kiblat secara manual, tetapi Mars bukan Bumi. Orientasi arah di sini sepenuhnya berbeda. Akhirnya, ia menghubungi Pusat Fatwa di Bumi.

Pertemuan virtual dengan Majelis Ulama Antariksa di Riyadh berlangsung tiga jam. Layar hologram memantulkan wajah-wajah keriput yang serius. “Hadapkan wajah ke titik pendaratan Falcon Heavy 2024,” kata syeikh tua itu. Yusuf tertawa getir: “Jadi kita menyembah roket sekarang?” Khalid menatap foto anak perempuannya yang terselip di saku. “Kita menyembah Sang Pembuat Roket, Pencipta Alam semsta” jawabnya pelan.

Dua minggu berlalu, dan mereka mulai terbiasa dengan ritme kehidupan di Mars. Matahari terbit dan terbenam dengan durasi yang sedikit lebih panjang dibandingkan Bumi, tetapi tidak terlalu mengganggu. Namun, saat Khalid sedang duduk menatap langit dari jendela shelter, ia menyadari sesuatu. Bulan Ramadhan segera tiba.

Ramadhan tiba seperti tamu yang salah alamat. Di luar kubah, Phobos dan Deimos bergantian mengintip—dua bulan malu-malu yang tak pernah paham siklus qamariyah. “Kalau kita ikuti bulan di sini, puasa bisa dua kali setahun!” protes seorang biolog asal Maroko. Malam itu, Khalid menemukan Yusuf terduduk di depan teleskop, “Mau pakai yang mana?” seru Yusuf. “Di Bumi, hilal menjadi tanda masuk Ramadhan, tapi di sini, kita bahkan tidak punya bulan…”

Masalah ini akhirnya dibawa ke Majelis Ulama Antariksa, dan beberapa usulan pun muncul, di antaranya adalah menggunakan perhitungan astronomi tanpa harus melihat hilal secara langsung, mengikuti kalender Islam Makkah sebagai acuan untuk menentukan awal Ramadhan, atau bahkan menciptakan sistem penanggalan Islam baru yang khusus dirancang untuk kondisi di Mars.

Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya umat Islam di Mars memutuskan untuk mengikuti awal Ramadhan berdasarkan kalender Makkah, tetapi waktu puasanya tetap menyesuaikan dengan terbit dan tenggelamnya matahari di Mars. Keputusan itu membuat Khalid dan rekan-rekannya lebih tenang. Kini, mereka bisa menjalani Ramadhan di planet asing ini dengan lebih teratur.

Tak lama setelah keputusan diumumkan, angin tipis di Mars tiba-tiba berubah menjadi pusaran yang mengerikan. Dari cakrawala, awan debu raksasa bergerak mendekat, menelan langit merah yang biasanya jernih. Alarm shelter berbunyi nyaring. Khalid bergegas mengenakan helmnya, memastikan semua pintu kedap udara terkunci rapat.

Badai debu datang menggonggong tengah malam. Suara gesekan pasir di dinding shelter seperti jutaan semut besi menggerogoti tempurung. Generator mendengkur putus asa. Di kegelapan, Khalid meraba tasbih di saku: “Alhamdulillah ‘ala kulli hal…”. Suasana di dalam shelter menjadi mencekam. Panel surya tertutup debu, pasokan listrik mulai menurun. Jika badai ini berlangsung lama, mereka bisa kehilangan daya sepenuhnya.

Di tengah keheningan, Yusuf berbicara pelan, hampir seperti bisikan. “Mungkin ini ujian dari-Nya… Agar kita tahu bahwa setiap tantangan adalah bagian dari takdir yang harus kita terima dengan ikhlas.” Khalid tersenyum tipis, mengingat kisah-kisah para sahabat Nabi yang berpuasa di tengah medan perang, di bawah terik padang pasir yang kejam. Mereka bertahan. “Kita juga akan baik-baik saja,” katanya akhirnya. “Kita hanya perlu bersabar dan tetap beribadah, sama seperti mereka dulu.”

Khalid menyandar di rak logam. “Di Bumi, hujan meteor Leonid sedang puncak,” ujarnya. Suaranya retak. “Aku janji mengajak Fatimah melihatnya tahun ini…” Khalid menyalakan senter. Bayangan mereka menari-nari di dinding seperti wayang kosmos. “Kita sedang menyaksikan meteor sidik jari Allah,” bisiknya. “Setiap debu yang menerpa ini adalah ayat.”

Badai berlangsung beberapa hari, tetapi mereka tetap menjalankan ibadah dengan penuh keyakinan.

***

Tiga puluh tahun kemudian. Mars tak lagi sama. Di bawah langit kemerahan yang tak pernah berhenti berdebu, teknologi merangkak maju, Ribuan manusia kini menyebut planet ini sebagai rumah, dan di antara mereka, komunitas Muslim tumbuh subur. Di lereng Olympus Mons Masjid Al-Mirqot berdiri, kubah transparannya memeluk langit ungu senja. Di mihrab, seorang kakek tua bersandar pada tongkat besi Mars.

“Kakek, kenapa dinding kiblatnya melengkung?” tanya gadis kecil menyentuh kalung bulan sabit dari regolith.

Khalid tersenyum. Garis-garis wajahnya berkerlip dalam cahaya neon biru. “Ini menghadap ke Bumi, Nak. Tempat dimana semua doa bermula.”

Di luar, angin senja membawa nyanyian azan yang direkam dari Masjidil Haram. Suara itu bergema di terowongan-terowongan bawah tanah, menyusuri sungai-sungai es yang tersembunyi, menggetarkan debu-debu merah yang tak pernah benar-benar diam.

Gadis kecil itu menatap langit. Di antara bintang-bintang, ada titik biru pucat yang sedang berkedip. Gadis kecil itu menunjuk langit. “Kakek, lihat! Meteor!” Senyum Khalid merekah. Di titik biru pucat itu, ia yakin Fatimah juga sedang menatap bintang yang sama.

Kini, di antara bintang-bintang, Islam tetap hidup. Sejauh mana pun manusia pergi, iman akan selalu menemukan jalannya.

 

 

Penulis : Yassir Amrulhaq

Editor : Bayu Firmansyah